Sabtu, 24 Januari 2009

















salam anak bomber to: taki 183

asiknya jadi anak bomber


Graffiti is not crime..
Kadang banyak orang menilai grafiti merupakan suatu tindakan anak muda masa kini yang melanggar dan menyusahkan masyrakat.
Padahal mereka tidak menyadari bahwa grafiti bukan hanya sekedar corat-coret tembok saja.
Grafiti bisa di jadikan sebagai ajang adu kreativitas anak bangsa. Melalui grafiti2 competisi yang ada, kita juga bisa menambah teman dari berbagai macam penjuru daerah.
Tetapi, masih saja ada yang mengira, grafiti sebagai suatu tindakan yang kriminal.
Maka dari itu, kita sebagai bomber Indonesia harus bisa menghapus image negative itu dengan memperbanyak ajang adu kreatif melalui grafiti contest tanpa kriminalitas dan tanpa obat-obatan terlarang.




gw jadi anak bomber sangat mengasika karna gw bia menjadi orang yg berbeda gw bisa happy, sedih,bahagia,dan sakit hati tertuwang di gravity gw jadi anak bomber sangat menga sikan karna di situ kita bayak mengenal kawan-2..................... yg peduli tentang seni gw yang penting gw suka n seneng lo juga bisa jadi gw kalau km tp banyak resiko y lo di kejar polisi ke lo harus teruss................ waspada lo..................... he..................................
kata y perkum pulan bomber hanya bisa merusak pasilitas tapi kata gw itu seni bukan merusak pasilitas umum malah memperindah ke adan kota yg kotor,bayak gelandangan jadi gw juga bisa meluapkan isi hati gw yg tersampaikan oy......................... udah spai disini dulu gw tr yambungi lagi

Jika anda menyangka grafiti selalu indentik dengan orang-orang yang pilox dinding tembok di jalanan maupun perumahan yang katanya tidak gunanya. Jangan salah. Sekelompok orang yang menjadi bagian dari komunitas Tembok Bomber

berhasil menunjukan sisi lain dari kehidupan sekelompok seniman jalanan.

Dengan mengucapkan syukur, akhirnya pada hari kedua sekitar pukul lima sore waktu setempat. Diwarnai oleh hujan yang turun antara deras dan tidak, selesai sudah pengerjaan program Warnai Sekolah. Walaupun kru pengerjaan hari ini berkurang satu karena Rima tekena demam (cepat sembuh ya ma), ternyata semangat kepedulian yang diperlihatkan tiga prajurit tersisa masih bisa menyelesaikan dengan amat sangat baik. Sekali lagi mari kita berikan tepuk tangan salut bagi mereka =D> =D> =D>

Bagaimana sebuah kelompok terbentuk? Jawaban sederhana akan mudah didapatkan dalam pengetahuan sosiologi dasar. Kelompok akan terbentuk apabila individu-individu dengan sekian perbedaannya, menemukan satu untai persamaan daripadanya. Rumus tersebut bahkan juga berlaku pada saat republik ini memutuskan merdeka dari kolonialisme.

Ditingkat yang lebih kecil dalam sebuah dunia pendidikan, bukan hal aneh sekelompok pelajar bergerombol berdasarkan kepentingan yang sama diantara mereka. “Sebenarnya berteman bisa dengan siapa saja. Namun kadang memang ada perasaan lain jika berkumpul dengan sekelompok kawan yang dianggap cocok,” ujar Wely Eka S, dari SMA Negeri 1 Kediri.
Rasa ‘cocok’ sebagaimana disebukan Wely, berarti sekedar kenyamanan berkelompok. Sebuah nuansa yang memberikan rasa senang dan aman. Meskipun tanpa formalitas, akhirnya kelompok tersebut bertahan dalam sekian waktu. Di SMA Negeri 1 Kediri, kelompok ini kemudian akrab dengan sebutan Kowah. Sebut saja nama grup tersebut, dan anda akan segera ditunjukkan keberadaan satu atau sekaligus personilnya berada.
“Awalnya hanya berkumpul-kumpul saja. Namun lama kelamaan, karena cocok tadi, banyak kegiatan diluar jam sekolah yang juga kami lakukan bersama. Soal penamaan kami tidak terlalu ambil pusing, sebab pada dasarnya kami tidak ingin membentuk kelompok yang eksklusif. Hanya kumpul-kumpul saja,” imbuh Wely.
Kelompok tersebut saat ini terdiri dari enam siswa, dari jurusan dan kelas yang berbeda. Dwi Setyawan, salah satu anggota cowok dalam kelompok tersebut mengatakan, salah satu penyebab terbentuknya Kowah adalah kesamaan latar belakang individunya. Semua anggota kelompok, menurut Dwi, bukanlah siswi ‘populer’ disekolah.
“Dulunya semua anggota Kowah bukan golongan siswa terkenal di SMA Negeri 1 Kediri. Tapi gara-gara sering kumpul bareng, sekarang tinggal sebut Kowah saja semua siswa sudah tahu,” ujarnya terkekeh.
Soal kegiatan, baik Wely maupun Dwi menampik keras jika grup tersebut geng bersinomim negatip. Sebab bentuk kegiatan yang dilakukan, meskipun tidak ada agenda belajar bersama sebab jurusan yang berbeda-beda, paling banter hanya jalan-jalan atau rujakan bersama. Namun demikian mereka juga mengakui bahwa ada sedikit perasaan aneh, jika ada individu baru yang masuk dalam kelompok mereka.
“Sebenarnya tidak apa-apa sih. Tapi rasanya aneh juga, kalau ada teman yang ikutan nimbrung saat kami berkumpul bersama. Kami tidak menolaknya, hanya agak ‘beda’ saja. Termasuk juga jika seorang rekan yang mengajak pasangannya. Untungnya saat ini semua anak Kowah pada jomblo,” tukas siswa kelas akhir ini.
Lain lagi dengan Adynda Imron Rosydhi, siswa kelas X SMA Negeri 7 Kediri. Imron, tidak memiliki kelompok dengan ikatan kuat dalam sekolah seperti halnya Wely dan Dwi. Namun diluar sekolah, ia memiliki rekan-rekan yang disebutnya sebagai geng. Dasar pembentukannya juga lebih terfokus, penggemar corat-coret tembok kosong alias bomber. “Saya ikut geng bomber sejak SMP, hingga saat ini. Geng saya bernama Wanted,” kata Imron.
Bomber, adalah sebutan untuk pelaku mural atau grafiti, seni menggambar di tembok. Tidak bisa disebut artis, sebab jika tidak dewasa secara organisasi, nilai merusak lebih besar ketimbang keindahan yang dihasilkan. Pendapat ini diamini dengan tegas oleh Imron, yang sekarang juga menjadi salah satu pemural handal sekolahnya.
“Saya tidak tahu kapan bomber pertama kali muncul di Kediri. Dan benar, banyak orang yang beranggapan negatif jika ada coretan di tembok. Padahal jika direncanakan dan diorganisir dengan bagus, kegiatan bomber bisa bisa menghasilkan nilai indah bagi kota,” imbuhnya.

Bagaimana sebuah kelompok terbentuk? Jawaban sederhana akan mudah didapatkan dalam pengetahuan sosiologi dasar. Kelompok akan terbentuk apabila individu-individu dengan sekian perbedaannya, menemukan satu untai persamaan daripadanya. Rumus tersebut bahkan juga berlaku pada saat republik ini memutuskan merdeka dari kolonialisme.

Ditingkat yang lebih kecil dalam sebuah dunia pendidikan, bukan hal aneh sekelompok pelajar bergerombol berdasarkan kepentingan yang sama diantara mereka. “Sebenarnya berteman bisa dengan siapa saja. Namun kadang memang ada perasaan lain jika berkumpul dengan sekelompok kawan yang dianggap cocok,” ujar Wely Eka S, dari SMA Negeri 1 Kediri.
Rasa ‘cocok’ sebagaimana disebukan Wely, berarti sekedar kenyamanan berkelompok. Sebuah nuansa yang memberikan rasa senang dan aman. Meskipun tanpa formalitas, akhirnya kelompok tersebut bertahan dalam sekian waktu. Di SMA Negeri 1 Kediri, kelompok ini kemudian akrab dengan sebutan Kowah. Sebut saja nama grup tersebut, dan anda akan segera ditunjukkan keberadaan satu atau sekaligus personilnya berada.
“Awalnya hanya berkumpul-kumpul saja. Namun lama kelamaan, karena cocok tadi, banyak kegiatan diluar jam sekolah yang juga kami lakukan bersama. Soal penamaan kami tidak terlalu ambil pusing, sebab pada dasarnya kami tidak ingin membentuk kelompok yang eksklusif. Hanya kumpul-kumpul saja,” imbuh Wely.
Kelompok tersebut saat ini terdiri dari enam siswa, dari jurusan dan kelas yang berbeda. Dwi Setyawan, salah satu anggota cowok dalam kelompok tersebut mengatakan, salah satu penyebab terbentuknya Kowah adalah kesamaan latar belakang individunya. Semua anggota kelompok, menurut Dwi, bukanlah siswi ‘populer’ disekolah.
“Dulunya semua anggota Kowah bukan golongan siswa terkenal di SMA Negeri 1 Kediri. Tapi gara-gara sering kumpul bareng, sekarang tinggal sebut Kowah saja semua siswa sudah tahu,” ujarnya terkekeh.
Soal kegiatan, baik Wely maupun Dwi menampik keras jika grup tersebut geng bersinomim negatip. Sebab bentuk kegiatan yang dilakukan, meskipun tidak ada agenda belajar bersama sebab jurusan yang berbeda-beda, paling banter hanya jalan-jalan atau rujakan bersama. Namun demikian mereka juga mengakui bahwa ada sedikit perasaan aneh, jika ada individu baru yang masuk dalam kelompok mereka.
“Sebenarnya tidak apa-apa sih. Tapi rasanya aneh juga, kalau ada teman yang ikutan nimbrung saat kami berkumpul bersama. Kami tidak menolaknya, hanya agak ‘beda’ saja. Termasuk juga jika seorang rekan yang mengajak pasangannya. Untungnya saat ini semua anak Kowah pada jomblo,” tukas siswa kelas akhir ini.
Lain lagi dengan Adynda Imron Rosydhi, siswa kelas X SMA Negeri 7 Kediri. Imron, tidak memiliki kelompok dengan ikatan kuat dalam sekolah seperti halnya Wely dan Dwi. Namun diluar sekolah, ia memiliki rekan-rekan yang disebutnya sebagai geng. Dasar pembentukannya juga lebih terfokus, penggemar corat-coret tembok kosong alias bomber. “Saya ikut geng bomber sejak SMP, hingga saat ini. Geng saya bernama Wanted,” kata Imron.
Bomber, adalah sebutan untuk pelaku mural atau grafiti, seni menggambar di tembok. Tidak bisa disebut artis, sebab jika tidak dewasa secara organisasi, nilai merusak lebih besar ketimbang keindahan yang dihasilkan. Pendapat ini diamini dengan tegas oleh Imron, yang sekarang juga menjadi salah satu pemural handal sekolahnya.
“Saya tidak tahu kapan bomber pertama kali muncul di Kediri. Dan benar, banyak orang yang beranggapan negatif jika ada coretan di tembok. Padahal jika direncanakan dan diorganisir dengan bagus, kegiatan bomber bisa bisa menghasilkan nilai indah bagi kota,” imbuhnya.


Graffiti is not crime..
Kadang banyak orang menilai grafiti merupakan suatu tindakan anak muda masa kini yang melanggar dan menyusahkan masyrakat.
Padahal mereka tidak menyadari bahwa grafiti bukan hanya sekedar corat-coret tembok saja.
Grafiti bisa di jadikan sebagai ajang adu kreativitas anak bangsa. Melalui grafiti2 competisi yang ada, kita juga bisa menambah teman dari berbagai macam penjuru daerah.
Tetapi, masih saja ada yang mengira, grafiti sebagai suatu tindakan yang kriminal.
Maka dari itu, kita sebagai bomber Indonesia harus bisa menghapus image negative itu dengan memperbanyak ajang adu kreatif melalui grafiti contest tanpa kriminalitas dan tanpa obat-obatan terlarang.